Akulturasi Tionghoa dengan beragam
etnis di Indonesia sangat kentara, lihat saja tradisi dan
kebudayaan saling-silang, mendekati kedua bangsa. Pada abad ke-19 hingga abad
ke-20, baju kurung khas Tionghoa telah ditinggalkan, beralih pada kebaya encim
yang terus mengalami perkembangan zaman….
Ritmik tetabuhan gambang kromong
‘Sinar Gemilang’ pimpinan Sauw Ong Kian mengalun di penghujung malam Imlek, 6
Februari. Sang maestro, Encim Masnah alias ‘Pang Tjin Nio’ membuka
tembang klasik peranakan Tionghoa. Bersuara jernih, tetap nyaring di usia
senja. Kerut wajah, rambut memutih, di topang tubuh ringkih yang kian menua.
Semangatnya nembang tak pudar seperti lima tahun lalu.
Masnah lahir di dekat kelenteng
Avalokiteswara, di kawasan Banten Lama. Ia telah menggeluti sebagai penyanyi
gambang kromong dan penari cokek dari umur 14 tahun. Kini, Masnah sekitar 80-an
tahun. Ialah maestro gambang kromong yang menguasai tembang-tembang klasik peranakan
Tionghoa, pernah menyanyi di Esplanade, Singapura. Suaranya direkam oleh
Smithsonian Folkways dan album CD itu berjudul ‘Music from the Outskirt of
Jakarta-Gambang Kromong’.
Malam itu, berakhirnya Hari Raya
Tahun Baru Imlek 2563 dan dimulainya perayaan Cap Go Meh. Dalam dialek
Hokkien dan secara harfiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap =
sepuluh, Go = lima, Meh = malam). Begitulah, riuhnya pelataran Bentara Budaya
Jakarta. Orang-orang bersuka-ria melenggokkan pinggulnya, berjoget mengikuti
irama lagu ‘Jali-Jali’.
Sebagian pengunjung mengalihkan
perhatian pada pameran bertajuk ‘Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa
Indonesia’ di ruang pamer galeri Bentara Budaya Jakarta, yang berakhir pada 12
Februari. Beragam ornamen, perhiasan emas-perak, batik tulis, sulaman benang
emas, kebaya encim hingga aneka keramik dihadirkan, dari abad ke-7 di masa
Dinasti Tiongkok hingga abad ke-16 di masa Dinasti Ming.
Sejarah panjang terentang, migrasi
orang-orang Tionghoa dari daratan Tiongkok, melintasi negeri-negeri jauh di
seberang lautan, membelah samudra yang jauhnya jutaan mil dari tanah leluhur.
Alhasil, membawa pengalaman dan kehidupan baru di negeri baru.
Kisah mengharukan itu ditandai
dengan peluncuran buku ‘Chinese Indonesian Peranakan; A Cultural Journey’
edisi revisi bahasa Inggris ke-2. Di ruang pamer pengunjung disambut dengan
meja Tuhan Allah, sebuah meja sembahyang dengan ukuran tinggi. Biasanya
digunakan sembahyang malam Tahun Baru (Cia-Gwee Ce-It) atau untuk
sembahyang hari pernikahan (Samkai). Selain itu dapat ditemui lemari altar
(Shrine) terbuat dari kayu tembesu asal Sumatera pada abad ke-19, hingga sofa
kayu hitam Xuanzhi. Jangan membayangkan sofa Xuangzhi empuk diduduki. Sofa itu
terbuat dari batu keras bertekstur agak kehitaman, menyerupai batu fosil ribuan
tahun.
Selain ornamen ukir-ukiran kayu nan
klasik, terdapat kepala sabuk yang digunakan wanita Tionghoa berlambang 8 Dewa
terbuat dari emas bertabur intan-- berumur sekitar 150-200 tahun. Di sudut
lain, tandu pada abad ke-19 digunakan untuk seserahan saat acara pernikahan
peranakan Tionghoa di Jawa.
Di dalam ruang pamer yang sesak
pengunjung, tembang Jawa dan gamelan ditabuh Niyaga, mengiring suasana
perhelatan ‘Budaya dan Karya Seni Tionghoa’. Gamelan pelog-selendro Jawa
bercorak motif ukiran Tionghoa itu juga hasil akulturasi Tionghoa-Jawa,
terlihat dari bentuk ukirannya. Rupanya perangkat gamelan itu adalah bekas
milik kaum peranakan Tionghoa Surakarta, dapat dilihat dari tiang gantung gong
terukir inisial KTS atau Karawitan Tionghoa Surakarta.
Akulturasi Tionghoa dengan beragam
etnis di Indonesia sangat kentara, lihat saja tradisi dan
kebudayaan saling-silang, mendekati kedua bangsa. Pada abad ke-19 hingga abad
ke-20, baju kurung khas Tionghoa telah ditinggalkan, beralih pada kebaya encim
yang terus mengalami perkembangan zaman, di sesuaikan mode. Meski masih kental
corak Tionghoa pada bordir dan renda-renda, juga asesoris; ikat pinggang,
tusuk konde, liontin, bros, gelang hingga set kembang goyang untuk pengantin.
Tampak pula, corak batik tulis
peranakan Tionghoa-Jawa atau Tionghoa-Cirebon, seperti sarung motif
‘Buketan’ yang dibuat pada 1940 oleh pembatik Tionghoa Oey Soe Tjoen. Kain-kain
batik lainnya telah berumur 100 tahun hingga 150 tahun.
Benda-benda warisan tradisi Tionghoa
itu tak bernyawa, tapi menyimpan kisah liris pada sifat bendanya. Semisal,
keramik ‘Martavan Perdamaian’ dibuat pada abad ke-18, di hias wajah manusia di
kedua sisi dan tangan manusia disisi lainnya. Martavan dapat ditemui di
Kalimantan, yang digunakan sebagai simbol perdamaian.
Bila terjadi perseteruan suku atau
peperangan di antara dua suku, maka suku yang kalah harus menyerahkan Martavan.
Selama belum menyerahkan Martavan, perang akan terus berlangsung. Ada beragam
jenis keramik ini; Martavan Coklat yang dibuat pada abad ke-18, Martavan Rudak
dibuat pada abad ke-16 hingga abad ke-17, terakhir Martavan Perdamaian yang
dibuat abad ke-18.
Konon, jenis Martavan Rudak yang
paling disukai masyarakat Kalimantan. Sebab memiliki motif primitif dan
ekspresif dibandingkan jenis Martavan lainnya, sebagian besar memiliki motif
naga dan wajah raksasa pada kupingnya.